Tiga Tugas Pokok Bank Indonesia

 

tiga tugas pokok bank indonesia

1. Sistem Pembayaran

Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain. Media yang digunakan untuk pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang dituangkan dalam Undang-Undang Bank Indonesia.


Dalam menjalankan mandat tersebut, BI mengacu pada empat prinsip kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran. Prinsip efisiensi menekankan bahwa penyelenggaran sistem pembayaran harus dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan lebih murah karena meningkatnya skala ekonomi. Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa BI tidak menginginkan adanya praktek monopoli pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk masuk. Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen. Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran uang, kelancaran sistem pembayaran diwujudkan dengan terjaganya jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa disebut clean money policy.


SP (sistem pembayaran) adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Lantas, apa saja komponen dari SP? Sudah barang tentu harus ada alat pembayaran, ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Nah, selain itu juga ada komponen lain seperti lembaga yang terlibat dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Termasuk dalam hal ini adalah bank, lembaga keuangan selain bank, lembaga bukan bank penyelenggara transfer dana, perusahaan switching bahkan hingga bank sentral.


Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra moderen. Dalam perkembangannya, mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang.  Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro. Selain itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).


Di Indonesia terdapat 2 jenis sistem pembayaran yang digunakan yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Tugas BI selaku Bank Sentral Indonesia adalah menciptakan sebuah aturan, standar, prosedur, dan kesepakatan yang akan dipakai pada sistem pembayaran ini. Sehingga antara satu bank dengan bank yang lain memiliki aturan sistem pembayaran yang sama. Dengan begitu sistem pembayaran non tunai dan tunai di Indonesia bisa berjalan dengan lancar.


Perlu diketahui bahwa BI bukan semata peduli akan terciptanya efisiensi dalam sistem pembayaran, tapi juga kesetaraan akses hingga ke urusan perlindungan konsumen. Yang dimaksud terciptanya sistem pembayaran, itu artinya memberi kemudahan bagi pengguna untuk memilih metode pembayaran yang dapat diakses ke seluruh wilayah dengan biaya serendah mungkin. Sementara yang dimaksud dengan kesetaraan akses, BI akan memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan aspek perlindungan konsumen dimaksudkan penyelenggara wajib mengadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam penyelenggaraan sistemnya.


2. Kebijakan Moneter

Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada pasal 7. Kestabilan rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Arah kebijakan didasarkan pada sasaran laju inflasi yang ingin dicapai dengan memperhatikan berbagai sasaran ekonomi makro lainnya, baik dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang.  Implementasi kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan suku bunga (BI Rate).


Perkembangan indikator tersebut dikendalikan melalui piranti moneter tidak langsung, yaitu menggunakan operasi pasar terbuka, penentuan tingkat diskonto, dan penetapan cadangan wajib minimum bagi perbankan. Selain itu tujuan ditetapakannya kebijakan moneter ini adalah untuk mendukung pertumbuhan perekonomian Negara Indonesia. Sehingga sebelum Bank Indonesia (BI) menetapkan sebuah kebijakan moneter BI harus berunding dengan Pemerintah Indonesia terlebih dahulu. Agar kebijakan moneter yang akan dibuat ini memiliki visi dan misi yang sama dengan Pemerintah Indonesia dalam mendukung perkembangan perekonomian Indonesia.


Target atau sasaran inflasi merupakan tingkat inflasi yang harus dicapai oleh Bank Indonesia, berkoordinasi dengan Pemerintah. Penetapan sasaran inflasi berdasarkan UU mengenai Bank Indonesia dilakukan oleh Pemerintah. Dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan Bank Indonesia, sasaran inflasi ditetapkan untuk tiga tahun ke depan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).


Sasaran inflasi tersebut diharapkan dapat menjadi acuan bagi pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonominya ke depan sehingga tingkat inflasi dapat diturunkan pada tingkat yang rendah dan stabil. Bank Indonesia dan Pemerintah senantiasa berkomitmen untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan tersebut melalui koordinasi kebijakan yang konsisten dengan sasaran inflasi tersebut. Salah satu upaya pengendalian inflasi menuju inflasi yang rendah dan stabil adalah dengan membentuk dan mengarahkan ekspektasi inflasi masyarakat agar mengacu pada sasaran inflasi yang telah ditetapkan.


Dalam konteks perkembangan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang (free floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karena itu, Bank Indonesia juga menjalankan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap menjaga bekerjanya mekanisme pasar.

Dalam upaya mencapai tujuan rersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia secara konsisten terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.

Baca Juga : Macam-macam perencanaan pembangunan


3. Kebijakan Makroprudensial

Penerapan kebijakan makroprudensial oleh BI memiliki tujuan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan. Untuk mendukung pelaksanaan fungsi tersebut, BI menerapkan 4 langkah starategi operasional kebijakan makroprudensial yang terdiri dari: 

a. Identifikasi sumber risiko sistemik Selain berdasarkan asesmen internal, BI juga melakukan survei dan FGD kepada stakeholders untuk dapat menangkap potensi risiko sistemik dari sudut pandang stakeholders, seperti perbankan, pakar ekonomi, media, akademisi dan pelaku pasar lainnya. 

b. Pengawasan makroprudensial BI memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan secara tidak langsung maupun secara langsung pada institusi keuangan terkait, dengan berkoordinasi dengan OJK. Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui monitoring, stress identification serta risk assessment terhadap potensi risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya. Berdasarkan proses tersebut, BI akan mengeluarkan sinyal risiko. Jika asesmen menunjukkan bahwa stabilitas sistem keuangan terjaga dengan baik, BI akan melakukan proses pengawasan seperti biasa. Dalam hal risiko menunjukkan peningkatan yang patut diwaspadai, BI akan megambil respon kebijakan melaui perumusuan kebijakan makroprudensial. Terakhir, jika sinyal risiko menunjukkan potensi krisis, BI akan mengaktifkan Protokol Manajemen Krisis. 

c. Respons kebijakan melalui desain dan implementasi instrumen kebijakan makroprudensial Instrumen kebijakan makroprudensial diterapkan untuk mencegah terjadinya risiko sistemik. Berdasarkan cakupannya, instrumen dapat diterapkan secara umum (misalnya Countercyclical Buffer) maupun targeted ke sektor tertentu (Loan to Value Ratio). Sedangkan dari sisi objek, instrumen dapat ditujukan untuk mengatur permodalan, kredit, likuiditas maupun intermediasi.

d. Protokol manajemen krisis (PMK) Bila hasil asesmen menunjukkan peningkatan risiko yang menuju ke krisis, BI akan segera mengaktifkan PMK. 


Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kebijakan makroprudensial yang menjadi tugas utama BI adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Apapun bentuknya. Di Indonesia, ketika risiko instabilitas sistem keuangan berasal dari tekanan inflasi dan volatilitas nilai tukar rupiah, maka kebijakan makroprudensial yang diambil oleh BI akan selalu mengarah kepada usaha untuk menuntaskan kedua masalah tersebut. Sebut saja, misalnya, pengetatan moneter melalui penaikan suku bunga acuan. Ketika suku bunga acuan naik, maka secara otomatis akan mengerek bunga kredit perbankan. Akibatnya bisa ditebak, yakni permintaan kredit akan melambat. BI sengaja mengambil kebijakan ini untuk menjaga pertumbuhan kredit agar tidak terlalu tinggi, terutama kredit konsumsi yang ditopang oleh kredit perumahan dan kendaraan. BI tak mau ada pertumbuhan yang terlampau cepat karena dapat mengancam stabilitas jika mendadak terjadi krisis keuangan. Di sisi lain, BI juga senantiasa menjaga nilai tukar rupiah agar selalu stabil. Stabil, bukan selalu berarti rendah, namun disesuaikan dengan kebutuhan. Kebijakan makroprudensial dimulai sejak tahap awal yakni pemetaan dan pemantauan risiko, hingga berlanjut ke tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beirkut implementasinya. Tahap terakhir adalah evaluasi untuk mengetahui efektivitas tindakan yang diambil.


Link : Ngobrol. (tagebuchmein.blogspot.com)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bias Dalam Perencanaan Pembangunan

Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Pasca Khulafaur Rasyidin

Perencanaan Pembangunan (Konsep Dasar, Proses, Arti Penting, Indikator, Aspek)